Tuesday, September 18, 2012

Film: IMPIAN KEMARAU/THE RAINMAKER (2004), Film Luar Biasa yang Terpinggirkan


Sutradara: 
Ravi Bharwani
 
Produser: 
Novialita, M Abduh Aziz, Shanty Harmayn, Ravi Bharwani
 
Penulis: 
Ravi Bharwani, M Abduh Aziz, Armantono
 
Pemeran: 
Clara Sinta, Levie Hardigan, Ria Irawan, Jabrik Gelanggang




Review:
 
1. Puisi Visual dalam Tradisi
 
Sebuah desa kecil di Gunung Kidul yang gersang dan kering itu jauh dari kata makmur. Namun desa itu memiliki seorang biduan cantik, seorang sinden pujaan bernama Asih (Clara Sinta). Asih ditemani oleh seorang pembantunya (Ria Irawan) yang setia melayani Asih setiap harinya. Johan (Levie Hardigan), seorang meteorologist dari 'Pusat' bertugas di desa tersebut untuk mengamati perubahan cuaca yang menjadi bahan pertimbangan oleh Pusat untuk menurunkan hujan buatan. Namun hujan buatan tak kunjung datang. Pesawatnya dipakai untuk kepentingan kampanye. Dalam film ini tradisi lokal dihadapkan dengan teknologi modern. Ravi Bharwani mengkomunikasikan ide cerita dengan bahasa gambar dan simbol. Impian Kemarau kemudian menjelma sebagai cara berbicara yang puitis. Sesuai dengan tagline film ini: A Poem of hopes, dreams and illusions, bahasa visual yang puitis itu mampu didesain secara efektif membentuk struktur cerita. Bukan plot linier yang utuh, sehingga yang timbul berupa kesan/mood.

2. Seksualitas dan Kritik Sosial-Politik
 
Pada dasarnya film ini bersifat menyindir. Sindiran terhadap pemerintah yang abai terhadap nasib rakyat kecil di sebuah desa terpencil yang gersang. Sindiran itu nampak indah dan halus namun teriakannya terasa menyengat. Adegan wayang kulit yang ditampilkan terasa seperti aksi protes. Johan dan segala peralatannya disindir. Bahwa janji pemerintah adalah bualan belaka dan Johan hanyalah pengganggu di desa tersebut. Harapan itu menjadi percuma. Pesawat yang akan digunakan untuk menurunkan hujan buatan justru dipakai untuk menyebar pamflet dalam rangka kampanye Pemilu. Seksualitas pun menjadi isu penting, ketika sebuah desa kering itu butuh "hiburan". Sinden Asih adalah jawabannya. Dan saat Asih berhubungan terlalu jauh dengan orang asing yaitu Johan, bencana datang. Desa itu perlu disucikan/diruwat. Asih milik desa dan Asih harus berendam di sungai pinggir desa untuk menebusnya.

 

3. Tembang Jawa, Pelit Dialog, Ritme Lambat, Penuh Metafora: Film "Berat"?
 
Film Berat? Barangkali ya. Jika ada definisi secara harfiah atas terminologi "Film Berat", saya akan usulkan Impian Kemarau masuk dalam golongan terminologi tersebut. Ibarat makanan, film ini bukan makanan lembek yang mudah ditelan. Melainkan perlu dikunyah berkali-kali untuk dapat menelannya. To feel, not just to watch. Dialog hampir tidak ada. Yang dominan adalah nyanyian tembang jawa sarat makna. Simbol/metafora dan ritme yang lambat juga digunakan untuk membangun cerita. Seperti adegan anak kecil yang memandikan boneka dengan pasir, bukan air. Pendalaman karakter yang mumpuni serta gambar-gambar yang disajikan dengan indah mewujudkan imaji kegelisahan karakter dan desa terpencil yang dilanda kekeringan. Praktis dengan gaya bercerita yang segar dan unik, Impian Kemarau langsung masuk jajaran film indonesia terbaik yang pernah saya tonton berdampingan dengan Daun Di Atas Bantal, Sang Penari, Mereka Bilang Saya Monyet dan Pintu Terlarang.


Cinemovie-Rate: 9/10


Note:
1. Film Impian Kemarau belum pernah tayang secara komersil di bioskop Indonesia.

2. Penghargaan yang diraih Impian Kemarau:
- Pemenang Best Film kategori Asian New Talent Award pada Shanghai International Film Festival 2004
- Nominasi Best Film pada Pusan International Film Festival 2004
- Nominasi Best Film pada Bangkok International Film Festival 2005
- Nominasi Best Film pada Vladuvostok International Film Festival
- Official Selection pada Rotterdam International Film Festival
- Official Selection pada Barcellona Asian Film Festival
- Official Selection pada Split International Festival of New Film
- Official Selection pada Cork International Film Festival
- Official Selection pada Zanzibar International Film Festival

No comments:

Post a Comment

Share Your Words: