Tuesday, September 18, 2012

Film: SOEGIJA (2012, Sutr. Garin Nugroho), Kemanusiaan Itu Satu Kendati Berbeda



Sutradara:
Garin Nugroho

Produser:
YI Iswarahadi SJ, Djaduk Ferianto, Murti Hadi Wijayanto SJ, Tri Giovanni

Penulis:
Armantono, Garin Nugroho

Pemeran:
Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga Lydia, Margono, Butet Kartaredjasa, Hengky Soelaiman, Andrea Reva, Rukman Rosadi, Eko Balung, Andriano Fidelis


Review:

1. Bukan Biografi

Mungkin banyak yang belum mengenal sosok Pahlawan Nasional bernama Albertus Soegijapranata yang lahir pada tanggal 25 November 1896. Saya pribadi belum tau tentang kisah perjuangan Soegija di era Kemerdekaan. Garin Nugroho berusaha mengangkat kisah-kisah kemanusiaan para saat perang kemerdekaan sekaligus memperkenalkan salah satu Pahlawan Nasional bernama Soegija. Pada awal film diperlihatkan adegan penasbihan Soegija sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama di Semarang pada tahun 1940 setelah melalui pendidikan agama dan serangkaian pengabdiannya dalam masyarakat. Jika penonton menduga film ini sebagai film biografi Soegija, nampaknya dugaan itu kurang tepat. Karena dalam film ini Soegija tampil sebagai benang merah, melalui catatan-catatan hariannya, yang menjembatani berbagai kisah-kisah kemanusiaan pada era kemerdekaan antara lain:
- Mariyem seorang perawat perempuan yang terpisah dengan kakaknya Maryono saat perang terjadi,
- Hendrick seorang wartawan Belanda yang meliput penjajahan Belanda di Indonesia dan diam-diam menaruh hati pada Mariyem,
- Robert seorang tentara Belanda yang kejam,
- Nobuzuki seorang tentara Jepang yang rindu akan keluarganya di Jepang,
- Lantip seorang gerilyawan yang aktif,
- Ling-ling anak perempuan etnis Tionghoa yang terpisah dengan ibunya dan mengalami nasib malang ketika toko kakeknya dijarah,
- Pak Besut seorang penyiar radio,
- Koster Toegimin asisten Soegija
- dan Banteng seorang gerilyawan buta huruf.




2. 1940-1949: Perang, Kemerdekaan, Diplomasi
Situasi perang antara tahun 1940 hingga 1949 digambarkan oleh Garin Nugroho dengan tenang. Tidak banyak adegan baku hantam dan senapan. Sesekali terselip adegan penembakan tentara Jepang dan Belanda yang memakan korban rakyat kecil. Peralihan penjajahan dari Belanda ke Jepang menimbulkan keadaan yang carut marut dan terus berlanjut bahkan setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu dengan adanya Agresi Militer.  Monsinyur A Soegijapranata SJ juga turut ambil bagian dalam kemerdekaan Indonesia melalui jalan diplomasi dan diperoleh informasi bahwa Vatikan merupakan Negara Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Soegija dekat dengan rakyat kecil dan juga melakukan diplomasi tingkat internasional, walaupun tidak digambarkan secara gamblang oleh Garin Nugroho.


3. Narasi dan Teknis
Penggalan sejarah dalam film ini bisa disimak melalui adegan-adegan siaran radio Pak Besut. Banyak narasi yang digulirkan seperti kita sedang membaca buku sejarah. Informatif memang, namun sangat berpotensi menjadi tontonan yang menjenuhkan ketika dialog-dialog perjuangan dan deskripsi sejarah disampaikan dengan intensitas yang cukup rapat. Masing-masing sub plot kurang tergali dalam. Karakterisasi tokoh hanya pada permukaan. Namun momen-momen tertentu seperti romansa Mariyem-Hendrick dan Robert bersama bayi mampu mewujudkan emosi tersendiri. Namun tidak bisa dipungkiri emosi film ini kurang terjaga. Pencapaian teknis adalah keunggulan film ini. Tata music/scoring (karya Djaduk Ferianto), sinematografi, tata artistik, setting tempat, desain kostum menyatu dalam sebuah production value yang bernilai tinggi. Salah satu gambar paling indah adalah siluet senja ketika para ibu-ibu yang membawa bakul berisi makanan untuk para gerilyawan. Lagu-lagu lawas dan lagu Belanda turut meramaikan film ini. Penggunaan multi bahasa (Jawa, Indonesia, Belanda, Jepang, Inggris, Latin) menambah poin positif film ini sehingga gambaran era 1940-an bener-benar terekonstruksi dengan baik.


4. Sentilan Politik

Banyak hal dalam film Soegija yang memiliki unsur kekinian, dalam artian bisa diaktualisasikan dalam masa kini. Sentilan-sentilan beserta humor tentang kepemimpinan dari Toegimin yang diperankan Butet Kertaradjasa begitu menohok. Ya, film ini tidak melulu serius namun memiliki selipan humor sebagai hiburan, namun bukan hiburan yang dangkal. Soegija juga menyindir bahwa pemimpin harus berani berkorban dan politikus harus mempunyai mental politik, jika mental itu tidak ada politikus hanya akan menjadi benalu negara yang haus akan kekuasaan. Salah satu kutipan Soegija yang patut kita cermati adalah Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar,' dan 'Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri.'


 
Cinemovie-Rate: 8/10


Notes:
  • Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan piagam penghargaan pada film. Film Soegija menerima penghargaan atas rekor menggunakan bahasa terbanyak dan pemain terbanyak. Film Soegija yang berlatar belakang suasana masa penjajahan ini menggunakan enam bahasa yang muncul selama 115 menit. Selain itu film produksi Puskat Audio Visual ini menghadirkan 2.755 pemain.
  • Dalam 2 hari penayangan film Soegija berhasil mengumpulkan 100 ribu penonton lebih, hamper menyamai rekor The Raid pada hari kedua penayangan.
  • Budget film ini kabarnya sangat mahal, mencapai 12 Milyar.


No comments:

Post a Comment

Share Your Words: